Jawa Barat yaitu sebuah provinsi di Indonesia. Ibu kotanya berada di Kota Bandung. Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat yaitu Provinsi yang pertama diwujudkan di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat diwujudkan berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat yaitu provinsi dengan banyak masyarakat terbanyak di Indonesia. Bagian barat laut provinsi Jawa Barat bersamaan ketentuan yang tidak boleh dilampauinya langsung dengan Kawasan Khusus Ibukota Jakarta, ibukota negara Indonesia. Pada tahun 2000, Provinsi Jawa Barat dimekarkan dengan berdirinya Provinsi Banten, yang berada di bagian barat. Kala ini terdapat wacana untuk mengubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan, dengan memperhatikan bagian historis wilayah ini.[4][5] Namun hal ini menemukan penentangan dari wilayah Jawa Barat lainnya seperti Cirebon dimana tokoh warga asal Cirebon menyatakan bahwa bila nama Jawa Barat diganti dengan nama Pasundan seperti yang berupaya digulirkan oleh Bapak Soeria Kartalegawa tahun 1947 di Bandung maka Cirebon akan segera membedakan diri dari Jawa Barat[6], sebab nama "Pasundan" berarti (Tanah Sunda) dinilai tidak merepresentasikan keberagaman Jawa Barat yang sejak dahulu telah dihuni juga oleh Suku Betawi dan Suku Cirebon serta telah dikuatkan dengan keberadaan Peraturan Kawasan (Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 yang mengakui adanya tiga suku asli di Jawa Barat yaitu Suku Betawi yang berbahasa Melayu dialek Betawi, Suku Sunda yang berbahasa Sunda dan Suku Cirebon yang berbahasa Bahasa Cirebon (dengan keberagaman dialeknya).
Jawa Barat terdiri atas 18 kabupaten dan 9 kota. Kota-kota hasil pemekaran sejak tahun 1996 adalah:
Temuan arkeologi di Anyer menunjukkan adanya kebiasaan logam perunggu dan besi sejak sebelum milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman buni (Bekasi kuna) dapat ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon.Jawa Barat pada 100 tahun ke-5 yaitu bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang digunkan dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja Tarumanagara.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Serayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda yaitu prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan Sunda beribukota di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).
Pada 100 tahun ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cerbon (kelak menjadi Kota Cirebon) lolos dari Kerajaan Sunda sebab pengaruh Kesultanan Demak. Pelabuhan ini kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Cirebon yang membedakan diri dari Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lolos ke tangan Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Banten.
Untuk menghadapi ancaman ini, Sri Baduga Maharaja, raja Sunda kala itu, mengharapkan putranya, Surawisesa untuk membikin perjanjian pertahanan keselamatan dengan orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa (sekarang Jakarta) kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Pada kala Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keselamatan Sunda-Portugis, yang ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keselamatan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut padrão di tepi Ci Liwung.
Meskipun perjanjian pertahanan keselamatan dengan Portugis telah diwujudkan, pelaksanaannya tidak dapat terwujud sebab pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon - Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Paletehan menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon - Demak berlangsung lima tahun sampai kesudahannya pada tahun 1531 diwujudkan suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.
Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda menjumpai kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda), dan kesudahannya jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tenggara) jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.
Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai dipergunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan kawasan provinsi. Sebelum tahun 1925, dipergunakan sebutan Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai sebutan geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat yang mengabdikan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang yaitu salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai agen PBB.
Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah menjumpai perkembangan ekonomi yang pesat. Kala ini peningkatan ekonomi modern ditandai dengan peningkatan pada sektor manufaktur dan jasa. Disamping perkembangan sosial dan infrastruktur, sektor manufaktur terhitung terbesar dalam memberikan kontribusinya melintasi investasi, hampir tigaperempat dari industri-industri manufaktur non minyak berpusat di sekitar Jawa Barat.PDRB Jawa Barat pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar (US$ 27.26 Billion) menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, angka tertinggi untuk sebuah Provinsi. Bagaimanapun juga sebab banyak masyarakat yang besar, PDB per kapita Jawa Barat yaitu Rp. 5.476.034 (US$644.24) termasuk minyak dan gas, ini menggambarkan 82,4 persen dan 86,1 persen dari rata-rata nasional. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 yaitu 4,21 persen termasuk minyak dan gas 4,91 persen termasuk minyak dan gas, lebih patut dari Indonesia secara semuanya. (US$1 = Rp. 8.500,-).
Kawasan pantai utara yaitu dataran rendah. Di bagian tengah yaitu pegunungan, yakni bagian dari rangkaian pegunungan yang membujur dari barat sampai timur Pulau Jawa. Titik tertingginya yaitu Gunung Ciremay, yang berada di sebelah barat kekuatan Kota Cirebon. Sungai-sungai yang cukup penting yaitu Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa.
Masyarakat
Mayoritas masyarakat Jawa Barat yaitu Suku Sunda, yang berucap mengabdikan Bahasa Sunda. Di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan dituturkan bahasa Jawa dialek Cirebon, yang mirip dengan Bahasa Banyumasan dialek Brebes. Di kawasan perbatasan dengan DKI Jakarta seperti sebagian Kota Bekasi, Kecamatan Tarumajaya dan Babelan (Kabupaten Bekasi) dan Kota Depok bagian utara dituturkan bahasa Melayu dialek Betawi. Jawa Barat yaitu wilayah berkarakteristik kontras dengan dua identitas; warga urban yang sebagian besar tinggal di wilayah JABODETABEK (sekitar Jakarta) dan warga tradisional yang hidup di pedesaan yang tersisa. Pada tahun 2013, populasi Jawa Barat mencapai 40.220.080 jiwa, dengan rata-rata kepadatan masyarakat 964 jika/km persegi.
Penggunaan bahasa kawasan kini mulai dipromosikan lagi. Sejumlah stasiun televisi dan radio lokal lagi mengabdikan bahasa kawasan sebagai bahasa pengantar pada beberapa keaktifannya, terutama berita dan talk show, misalnya Bandung TV memiliki program berita mengabdikan Bahasa Sunda serta Cirebon Radio yang mengabdikan ragam Bahasa Cirebon Bagongan maupun Bebasan. Begitu pula dengan media massa cetak yang mengabdikan bahasa sunda, seperti majalah Manglé dan majalah Bina Da'wah yang diterbitkan oleh Dewan Da'wah Jawa Barat.
Iklim
Iklim di Jawa Barat yaitu tropis, dengan suhu 9 °C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 °C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa kawasan pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.
Topografi
Ciri utama daratan Jawa Barat yaitu bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera sampai ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100 1.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara ketinggian 0 . 10 m dpl, dan wilayah arus sungai.
Demografi
Piramida masyarakat Provinsi Jawa Barat berdasarkan hasil sensus 2010. Legenda:
Laki-laki
Perempuan
Peta kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Barat berdasarkan tingkat kepadatan masyarakat hasil sensus 2010. Legenda:
< 2.000
2.000 - 3.999
4.000 - 8.999
9.000 - 10.999
≥ 11.000
Banyak masyarakat Provinsi Jawa Barat tahun 2013 yaitu sebanyak 40.220.080 jiwa yang meliputi mereka yang berlokasi tinggal di kawasan perkotaan sebanyak 26.420.571 jiwa (65,69 persen) dan di kawasan perdesaan sebanyak 13.799.509 jiwa (34,31 persen). Persentase distribusi masyarakat menurut kabupaten/kota bervariasi dari yang terendah sebesar 0,41 persen di Kota Banjar sampai yang tertinggi sebesar 11,08 persen di Kabupaten Bogor.
Masyarakat laki-laki Provinsi Jawa Barat sebanyak 20.504.355 jiwa dan perempuan sebanyak 19.715.725 jiwa. Seks Rasio yaitu 104, berarti terdapat 104 laki-laki untuk setiap 100 perempuan (kebanyakan banyak laki-laki dibandingkan banyak perempuan). Seks rasio menurut kabupaten/kota yang terendah yaitu Kabupaten Ciamis sebesar 98 dan tertinggi yaitu Kabupaten Cianjur sebesar 107. Seks Rasio pada himpunan umur 0-4 sebesar 106, himpunan umur 5-9 sebesar 106, himpunan umur lima tahunan dari 10 sampai 64 berkisar antara 97 sampai dengan 113, dan dan himpunan umur 65-69 sebesar 96.
Median umur masyarakat Provinsi Jawa Barat tahun 2010 yaitu 26,86 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat Provinsi Jawa Barat termasuk kategori menengah. Masyarakat suatu wilayah dikategorikan masyarakat muda bila median umur < 20, masyarakat menengah bila median umur 20-30, dan masyarakat tua bila median umur > 30 tahun.
Rasio ketergantungan masyarakat Provinsi Jawa Barat yaitu 51,20. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 51 orang usia tidak produkif (0-14 dan 65+), yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan masyarakat suatu wilayah. Rasio ketergantungan di kawasan perkotaan yaitu 48,84 sementara di kawasan perdesaan 55,92.[7]
Manufaktur
Provinsi Jawa Barat memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi untuk manufaktur termasuk diantaranya elektronik, industri kulit, pengolahan makanan, tekstil, furnitur dan industri pesawat. Juga panas bumi, minyak dan gas, serta industri petrokimia menjadi andalan Jawa Barat. Penyumbang terbesar terhadap GRDP Jawa Barat yaitu sektor manufaktur (36,72%), hotel, perdagangan dan pertanian (14,45%), totalnya sebesar 51,17%. Lolos dari adanya krisis, Jawa Barat sedang menjadi pusat dari industri tekstil modern dan garmen nasional, berlainan dengan kawasan lain yang menjadi pusat dari industri tekstil tradisional. Jawa Barat menymbangkan hampir seperempat dari nilai total hasil produksi Indonesia di sektor non Migas. Ekspor utama tekstil, sekitar 55,45% dari total ekspor jawa Barat, yang lainnya yaitu besi baja, alas kaki, furnitur, rotan, elektronika, komponen pesawat dan lainnya.
Pertanian: Lahan dan Perairan
Dikenal sebagai salah satu 'lumbung padi' nasional, hampir 23 persen dari total luas 29,3 ribu kilometer persegi dialokasikan untuk produksi beras. Tidak dipungkiri lagi, Jawa Barat yaitu 'Rumah Produksi' untuk ekonomi Indonesia, hasil pertanian Provinsi Jawa Barat menyumbangkan 15 persen dari nilai total pertanian Indonesia.Hasil tanaman pangan Jawa Barat meliputi beras, kentang manis, jagung, buah-buahan dan sayuran, disamping itu juga terdapat komoditi seperti teh, kelapa, minyak sawit, karet alam, gula, coklat dan kopi. Perternakannya membuat 120.000 ekor sapi ternak, 34% dari total nasional.
Kelautan dan Perikanan
Jawa Barat berhadap-hadapan dengan dua sisi lautan Jawa pada bagian utara dan samudera Hindia di bagian selatan dengan panjang pantai sekitar 1000 km. Berdasarkan letak inilah Provinsi Jawa Barat memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Suatu perencanaan terpadu tengah diterapkan untuk pengembangan Pelabuhan Cirebon, patut sebagai pelabuhan Pembantu Tanjung Priok Jakarta, maupun sebagai pelabuhan perikanan Jawa Barat yang dilengkapi dengan industri perikanan.Untuk potensi perairan darat, tidak hanya dari sejumlah sungai yang mengalir di Jawa Barat, Tetapi potensi ini juga diperoleh dari penampungan air / DAM saguling di Cirata dan DAM Jatiluhur yang selain membuat tenaga listrik juga berharga untuk mengairi area pertanian dan industri perikanan air tawar.
Sumber Kekuatan Manusia: Banyak Masyarakat dan Tenaga Kerja
Dengan banyak masyarakat sekitar 37 juta manusia pada tahun 2003, 16 persen dari total banyak masyarakat Indonesia. Pertumbuhan urbanisasi di Provinsi tumbuh sangat cepat, khususnya disekitar JABODETABEK (sekitar Jakarta). Jawa Barat memiliki tenaga pekerja berpendididkan berjumlah 15,7 juta orang pada tahun 2001 atau 18 persen dari total nasional tenaga pekerja berpendidikan. Sebagian besar melakukan pekerjaan pada bagian pertanian, kehutanan dan perikanan (31%), pada industri manufaktur (17%), perdagangan, hotel dan restoran (22,5%) dan sektor pelayanan (29%).
Minyak-Mineral dan Geothermal
Minyak dapat ditemukan di sepanjang Laut Jawa, utara Jawa Barat, sementara cadangan geothermal (panas bumi) terdapat di beberapa derah di Jawa Barat. Tambang lain sepert Batu gamping, andesit, marmer, tanah liat yaitu pertambangan mineral yang dapat ditemukan, termasuk mineral lain yang cadangan depositnya sangat potensial, Emas yang diurus PT. Aneka Tambang, potensinya sebesar 5,5 million ton, dan membuat 12,1 gram emas per ton.
Pendidikan dan Kebudayaan
Perlindungan dan proses pengembangan Kebiasaan dan Bahasa yang ada di Jawa Barat secara kongrit dimulai dengan adanya Kongres Jawa Barat, kongres Jawa Barat yaitu sebuah forum bersama-sama menjadi satu kategorinya para tokoh warga Jawa Barat untuk membicarakan berbagai masalah sosial-kemasyarakatan yang ada di Jawa Barat.
Pendidikan Bahasa
Keberagaman kebiasaan dan bahasa yang ada di Jawa Barat sempat diuji ketika Kongres Jawa Barat yang ketiga dipersiapkan. Tepatnya di Kota Bandung tanggal 28 Februari 1948, pada kala tersebut salah satu agen warga Jawa Barat dari Suku Sunda yaitu Bapak Soeria Kartalegawa yang juga ketua Parta Rakyat Pasundan (PRP) mengusulkan agar pembicaraan dalam kerap badan agen tersebut (Kongres Jawa Barat) dibolehkan mengabdikan Bahasa Sunda, namun kemudian usulan tersebut segera disanggah oleh agen masyarakt Jawa Barat lainnya dari Suku Cirebon yaitu bapak Soekardi, bapak Soekardi menyatakan
“
“Djika dibolehkan berbitjara dalam bahasa Soenda, orang-orang yang mau memakai bahasa kawasan lainnya poen haroes diizinkan, oempamanja bahasa kawasan Tjirebon”.
”
Kemudian pada periode sebelum tahun 1970-an Pemerintah memasukan Pelajaran Bahasa Jawa dialek Solo / Yogya (Baku) untuk wilayah Cirebon dan Indramayu yang sedang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat dimana mayoritas masyarakatnya mengabdikan Bahasa Sunda, namun ternyata guru pengajar dan muridnya tidak memahami kosakata yang dipergunakan tersebut sampai kesudahannya menetapkan untuk tidak mengajarkan Bahasa Jawa dialek Solo / Yogya (Baku) di wilayah Cirebon-Indramayu. Kekosongan pelajaran muatan lokal bahasa kawasan ini kemudian berupaya diisi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan memasukan pelajaran bahasa kawasan Bahasa Sunda, oleh sebabnya pada periode tahun 1970-an bahasa kawasan yang diajarkan di wilayah Cirebon - Indramayu yaitu Bahasa Sunda sebab dianggap akan lebih mudah dipahami sebab para pemakai bahasa Sunda “lebih dekat”. Akan tetapi, ternyata garis haluan itu pun tidak tepat sehingga muncul pergerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang dipergunakan di wilayahnya, yaitu Bahasa Jawa dialek Cirebon[8], kemudian pada periode tahun selanjutnya pengajaran Bahasa Cirebon ini mulai untuk diajarkan di wilayah "Pakaleran Majalengka" yaitu wilayah utara kabupaten Majalengka yang mayoritas masyarakatnya yaitu keturunan Prajurit Majapahit, pada wilayah Pakaleran ini kosakata Bahasa Jawa diaek Banyumasan, Bahasa Jawa dialek Bumiayu serta Bahasa Jawa dialek Tegal lebih terasa, misalnya pada penyebutan ujar "saya" yang mengabdikan sebutan "Nyong" dan bukannya "Ingsun" ataupun "Reang" seperti yang dituturkan di wilayah Cirebon - Indramayu. Namun pengajaran bahasa kawasan pada periode tersebut belum memiliki payung hukum, sebab Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelumnya mengindikasikan bahwa Jawa Barat yaitu wilayah tanah Sunda, dengan mayoritas suku sunda yang berucap bahasa sunda, baru setelah tahun 2003 dengan diterbitkannya Peraturan Kawasan (Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 tentang Perlindugan dan Pengembangan Kebiasaan dan Bahasa di Jawa Barat yang mengakui adanya tiga suku asli jawa barat yaitu Sunda, Melayu-Betawi dan Cirebon, pengajaran bahasa kawasan non-sunda memiliki perlindungan payung hukumnya, adapun pergerakan untuk menjadikan bahasa cirebon sebagai sebuah bahasa yang mandiri yang lolos dari Bahasa Jawa maupun Sunda diterapkan dengan sebuah Cara yang disebut dengan "Cara Guiter" namun pada perhitunganya cara tersebut baru mencatat sekitar 75% perbedaan antara Bahasa Cirebon dengan Bahasa Jawa dialek Solo / Yogya, sementara untuk diakui sebagai sebuah bahasa mandiri diperlukan sedikitnya 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya[9]. namun secara nyata, penerbitan buku penunjang pelajaran bahasa kawasan Cirebon dan Indramayu pada periode tahun 2000-an sudah diterapkan dengan tidak menyebutkan Cirebon sebagai sebuah dialek Bahasa Jawa dan hanya dituturkan "Bahasa Cirebon" dan bukannya "Bahasa Jawa dialek Cirebon" seperti yang diterapkan pada penerbitan "Kamus Bahasa Cirebon" oleh Almarhum Bapak TD Sudjana dan kawan-kawan tahun 2001 dan "Wykarana - Tata Bahasa Cirebon" oleh Bapak Salana tahun 2002.
Berlainan halnya dengan pendidikan bahasa cirebon, pendidikan bahasa betawi di wilayah Provinsi Jawa Barat menjumpai hal yang lebih parah dari masalah yang dialami oleh bahasa cirebon, pendidikan Bahasa Betawi sampai tahun 2011 (delapan tahun setelah Perda Jawa Barat No. 5 Tahun 2003) diterbitkan sama sekali belum diterapkan di wilayah yang didiami oleh suku betawi yaitu Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, sebagian Kabupaten Bogor wilayah Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Karawang sebelah barat, padahal penelitian tentang Bahasa Betawi telah cukup banyak diterapkan, diantaranya :
K. Ikranegara (1980). Melayu Betawi Grammar. Linguistic Studies in Indonesian and Languages in Indonesia 9. Jakarta: NUSA.
S. Wallace (1976). Linguistic and Social Dimensions of Phonological Variation in Jakarta Malay. PhD. Dissertation, Cornell University.
Klarijn Loven (2009). Watching Si Doel: Television, Language and Cultural Identity in Contemporary Indonesia, 477 halaman, ISBN-10: 90-6718-279-6. Penerbit: The KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies at Leiden.
Lilie M. Roosman (April 2006). Lilie Roosman: Phonetic experiments on the word and sentence prosody of Betawi Malay and Toba Batak, Penerbit: Universiteit Leiden.
Pengembangan Pendidikan
Pengembangan dan Perlindungan Bahasa yang diamanatkan oleh Perda Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 dalam kaitannya dengan pengembangan Bahasa Cirebon hanya terjadi disekitar wilayah eks-karesidenan Cirebon yaitu (Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, sebagian wilayah Kabupaten Majalengka dan sebagian wilayah Kabupaten Kuningan) sementara wilayah kabupaten lainnya yang juga didiami oleh Suku Cirebon seperti wilayah Kabupaten Subang sebelah utara dan sebagian wilayah Kabupaten Karawang di Pesisir Timur sampai tahun 2011 (delapan tahun setelah Perda Jawa Barat No. 5 Tahun 2003) diterbitkan belum juga menemukan pengajaran Bahasa Cirebon, adanya ketidakmerataan pengajaran bahasa kawasan di Jawa barat ini dikarenakan pemerintah memberikan hak sepenuhnya kepada Pemerintah Kawasan di setiap Kabupaten / Kota untuk memastikan sendiri pengajaran bahasa kawasan yang ada diwilayahnya.
Tags (tagged): jawa barat, jawa, barat, bandung, perkembangan, sejarah menunjukkan bahwa, provinsi, ekonomi, pesat, saat peningkatan ekonomi, modern, komoditi, seperti, teh kelapa minyak, sawit karet, alam, gula, grammar linguistic, studies in, indonesian, and languages in, kumpulan studi, berbahasa, indonesia talaga warna, puncak kabupaten, bogor, taman safari jawa