Orang Indo
- Artikel ini mengenai kumpulan etnis perpaduan selang Eropa dan Indonesia. Untuk pengertian pautan, silakan melihat Orang Indo (disambiguasi)
Indo Indo-Europeanen |
---|
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Karel Zaalberg • E. du Perron • Louis Couperus Ernest Douwes Dekker • Dick de Hoog • P. F. Dahler Marion Bloem • Adriaan van Dis • Leonard R. Helmrich |
Banyak populasi |
sekitar 1.000.000 di Indonesia (pendugaan), sekitar 500.000 di Belanda |
Kawasan dengan populasi yang signifikan |
Belanda, Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Britania Raya, Kanada |
Bahasa |
Belanda, Indonesia, Pecok, Inggris |
Agama |
Kristen, Islam, dll. |
Kumpulan etnik terdekat |
Belanda; suku-suku di Indonesia, terutama Maluku, Jawa, Sunda dan Minahasa; Jerman |
Orang atau kaum Indo (singkatan dari nama dalam bahasa Belanda, Indo-Europeaan, "Eropa-Hindia"[1]) adalah kumpulan etnik Mestizo yang hadir (atau pernah ada) di Hindia-Belanda/Indonesia dan sekarang menjadi kumpulan etnik minoritas terbesar di Belanda. Kumpulan etnis ini dicirikan dari kesamaan asal-usul rasial, status legal, dan kultural. Kaum Indo adalah keturunan campuran selang orang dari etnik tertentu di Eropa (terutama Belanda, tetapi juga Jerman, Belgia, dan Prancis/Huguenot) dengan fenotipe Eropa dan orang dari etnik non-Eropa tertentu di Hindia-Belanda/Indonesia. Secara hukum, sebagian besar berstatus sebagai warga Eropa di Hindia-Belanda (Europeanen). Mereka menjunjung harga-nilai adat Eropa (terutama Belanda) dengan banyak pengaruh lokal Indonesia pada derajat tertentu dalam kehidupannya sehari-hari. Meskipun demikian, ke dalam kumpulan etnik ini dimasukkan pula orang Eropa yang datang dan menetap cukup lama di tanah Indonesia atau yang muncul di Indonesia, karena di selang kalangan kaum keturunan campuran sendiri terdapat rentang fenotipe yang luas, sehingga faktor penampilan tidak dapat menjadi satu-satunya pembatas untuk kumpulan etnik ini. Kumpulan berdarah campuran adalah mereka yang biasa dikenal sebagai orang Indo, Mesties (Bld.), atau Mestizos (Port.), sedangkan mereka yang "berdarah murni" Eropa dikenal sebagai totok (Mel.), blijvers (Bld.), atau kreol.
Perang Alam Kedua dan sesudahnya menjadi titik awal diaspora untuk kaum Indo, sehingga saat ini keturunan mereka banyak dijumpai di Belanda, Indonesia, Amerika Serikat (AS), Australia, Selandia Baru, Kanada, serta beberapa negara pautan. Di Belanda, kaum Indo sekarang dianggap sebagai kumpulan minoritas terbesar (total sekitar 500.000 orang). Mereka dikenal dengan beberapa istilah, seperti Indisch Nederlander atau Indisch saja. Secara adat mereka bertalian tidak jauh dengan kumpulan etnik Maluku di Belanda. Di AS mereka dikenal sebagai Dutch Indonesian atau Indonesian Dutch dan kebanyakan bermukim di California. Di Indonesia sendiri banyak mereka sedikit dan kebanyakan keturunannya terintegrasi/melebur dengan beragam kumpulan etnis pautan walaupun adat berbahasa Belanda masih dijalankan di dalam keluarga.
Istilah "orang Indo" dalam penggunaan bahasa Indonesia masa kini mengalami pergeseran faedah dan dipakai secara taksa (ambigu). Sebutan ini juga dipergunakan untuk menyebut semua orang Indonesia — sebagai kependekan dari "orang Indonesia" — sekaligus juga untuk menyebut peranakan campuran orang Indonesia dengan bangsa pautan, tanpa melihat latar belakangan asal-usul non-Indonesianya, yang tidak wajib Eropa.
Daftar isi
- 1 Sejarah
- 1.1 Periode awal pembentukan: Era Portugis dan Spanyol (1500-1600)
- 1.2 Menjadi kelas masyarakat tersendiri : Di bawah VOC (1600-1799)
- 1.3 Masa keemasan : Hindia-Belanda (1800-1942)
- 1.4 Masa suram: Pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950)
- 1.5 Pasca-kemerdekaan Indonesia dan diaspora (1945-1965)
- 2 Kiprah adat kaum Indo sebelum diaspora
- 3 Orang Indo masa kini
- 4 Tokoh-tokoh
- 5 Lihat pula
- 6 Catatan kaki
- 7 Pranala luar
Sejarah
Kaum Indo terbentuk hampir seusia dengan kedatangan saudagar-saudagar Eropa, diawali oleh orang Portugis, lewat Spanyol, Inggris, dan kesudahan Belanda. Bangsa-bangsa Eropa pautan, seperti Belgia, Jerman, Prancis, dan Denmark berdatangan sesudahnya.
Periode awal pembentukan: Era Portugis dan Spanyol (1500-1600)
Penjelajah dari Eropa mulai ramai datang ke Nusantara pada awal 100 tahun ke-16, sebagai konsekuensi dari Zaman Penjelajahan (Age of Exploration) yang melanda Eropa. Banyak di selang mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang Portugis dan Spanyol beserta budak-budak mereka dari India, Sri Lanka, Malaka, atau Nusantara bagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropa berdatangan karena bidang usaha dan perdagangan, namun hadir pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kesudahan menikah atau bahkan memiliki anak tanpa belitan pernikahan dengan masyarakat setempat, mengingat pendatang dari Eropa semuanya lelaki. Di Malaya, keturunan mereka saat ini dinamakan sebagai Melayu Eropa. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kelurahan Tugu (Cilincing, Jakarta Utara) serta Kelurahan Lamno Jaya, Aceh Barat.[2] Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana Tsunami Aceh 2004[3]
Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan adat masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Metode bergaul orang Portugis yang relatif membuka dan tidak rasis membikin adatnya banyak terserap secara mudah. Beragam tanaman asal Amerika tropis, beberapa kelompok kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta beragam permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara menempuh pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada 100 tahun ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di Batavia. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kesudahan hari menjadi salah satu penciri kultur Eropa-Indonesia di 100 tahun ke-20.
Menjadi kelas masyarakat tersendiri : Di bawah VOC (1600-1799)
Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia pada 100 tahun ke-17 hingga ke-18.[4] Pada masa itu, orang berdarah Eropa terpusat di Batavia dengan banyak tidak mencapai 10.000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua baik hidupnya Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran Belanda, Portugis, dan Melayu (Pasar).
Mereka dapat dibedakan dalam dua kelompok: trekkers dan blijvers. Trekkers (atau masa kini dinamakan ekspatriat) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan lagi ke Eropa setelah tugasnya berakhir dan blijvers adalah mereka yang mampu beradaptasi, lewat menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki Nyai, seperti dalam legenda Nyai Dasima) atau orang Tionghoa. Kedua kumpulan ini juga berlainan orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap adalah representasi kultur Eropa. Namun demikian, orang Belanda secara keseluruhan biasanya banyakan terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.[5]
Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah Pieter Elberfeld (Erberfeld, menurut Vlekke[4]), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) mengetuai kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.
Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berlandaskan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kumpulan pautannya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (miesling) ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Edukasi mereka belum cukup diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akhir-akhirnya, mereka banyak menyerap adat lokal dan belum cukup memiliki kecakapan berbahasa Belanda yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada kesudahan 100 tahun ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropa yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kesudahan muncul dialek bahasa Belanda yang khas: Indisch Nederlands, dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai bahasa Pecok. Di masa ini pula sejumlah budak lokal yang diberi keleluasaan dan kesudahan memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropa-Indonesia.
Masa keemasan : Hindia-Belanda (1800-1942)


Perubahan besar yang terjadi di Eropa pada awal 100 tahun ke-19 (perang Napoleon) dan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal van den Bosch membikin orang Eropa-Indonesia mulai menyebar ke beragam tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebagian Sumatera, terutama sebagai untuk mengurus perkebunan-perkebunan. Banyak pendatang, sebagian besar berasal dari Belanda ditambah beberapa orang Jerman dan Inggris. Untuk pengaturan keteraturan hukum, pemisahan ke dalam tiga kumpulan, Europeanen (orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (pribumi) diberlakukan semenjak 1854 (Regeringsreglement, "Undang-undang Administrasi Hindia") yang membuat lebih terang pemisahan orang Eropa-Indonesia dari komponen masyarakat Indonesia pautannya. Ironisnya, walaupun undang-undang ini memasukkan kaum Eurasia ke dalam kumpulan orang Eropa, tetapi membuat lebih terang pula segregasi di dalam kalangan Europeanen, dan secara tidak terus merugikan kalangan campuran. Ini terjadi karena mulai berdatangannya orang-orang dari Eropa (terutama Belanda) untuk berupaya. Akibatnya, kalangan "totok" (orang Eropa-Indonesia yang bukan campuran) mulai meningkat proporsinya dibandingkan kalangan campuran. Orang keturunan campuran (pada masa inilah istilah "Indo", kependekan dari Indo-Europeanen, mulai dipakai) seringkali dianggap lebih rendah oleh orang Eropa totok meskipun mereka dapat memiliki hak, privilese, dan kewajiban yang sama apabila ayahnya 'mengakui'nya sebagai orang Eropa.[6] Berlandaskan anggaran yang berjalan masa itu pula, Europeanen tidak dapat memiliki lahan secara pribadi, tetapi dapat menyewa dari orang pribumi. Di sisi pautan, kaum Indo menurut anggaran dibayar per jamnya lebih rendah daripada orang totok dan trekkers karena memiliki latar belakangan edukasi yang lebih rendah. Hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan Indo.
Gerakan liberalisme membikin banyak orang Eropa-Indonesia mulai berasosiasi menurut adicita, dan pada 100 tahun ke-20 menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Hindia-Belanda. Secara politis, orang Eropa-Indonesia pada awal 100 tahun ke-20 terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang tetap mau mempertahankan hubungan penuh dengan Belanda (kolonial) dan mereka yang memiliki aspirasi otonomi. Sejumlah orang Eropa dan Indo jelas-jelas mendukung Boedi Oetomo, organisasi gerakan bercorak nasionalis pertama. Orang-orang Indo maupun "totok" pun mulai terkonsolidasi. Pada tahun 1912 diwujudkan Indische Partij (IP) oleh E.F.E. Douwes Dekker dengan dukungan banyak orang Eropa dengan tujuan kemerdekaan penuh untuk Hindia-Belanda. Organisasi radikal ini dibungkam setahun kesudahan oleh pemerintahan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg karena dianggap membahayakan koloni. Kalangan orang Indo mayoritas yang pro-Belanda kesudahan membina pula organisasi untuk mengimbangi radikalisme IP, yaitu Indo-Europees Verbond (IEV) pada tahun 1919 oleh Karel Zaalberg. IEV sangat didukung oleh pemerintah koloni dan segera menjadi fraksi dominan dalam Volksraad yang sudah berdiri pada tahun 1916.
Pada tahun 1930 dikenal terdapat 246.000 orang Eropa-Indonesia (Europeanen), termasuk Indo. Banyak ini mencakup sekitar 0,4% dari total 60,7 juta masyarakat Hindia Belanda. Dari banyak itu, 87% berkewarganegaraan Belanda. Seperempat dari warganegara Belanda ini muncul di Belanda.[7]
Masa suram: Pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950)
Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropa-Indonesia ke luar Indonesia.
Pada Perang Alam Kedua, orang Indo mengalami masa yang suram, patut yang tinggal di Eropa maupun Asia. Di Eropa, Jerman Nazi menduduki banyak negara dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli). Di Asia, pada perang Pasifik, tentara Jepang memperlakukan masyarakat jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari Eropa (termasuk Indo). Banyak di selang mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris (salah satu negara Eropa yang tidak ditempati tentara Nazi), Australia (mengabaikan kepintaran ras- White Australia Policy), Selandia Baru dan Kanada karena mereka dapat diterima sebagai pelarian perang.
Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di periode awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. Walter Spies, seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi perkiraan membaik tetapi tetap buruk ketika Jepang turut. Mereka diberi keleluasaan (karena yang ditangkapi kesudahan adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, Inggris atau Perancis) namun menjadi sasaran salah tangkap karena penampilan yang sama. Akhir-akhirnya banyak yang menentukan keluar dari Hindia Belanda.
Pasca-kemerdekaan Indonesia dan diaspora (1945-1965)

Perlawanan Indonesia terhadap Belanda yang mencoba menguasai Indonesia lagi menimbulkan perasaan permusuhan di kalangan pribumi Indonesia terhadap mereka yang pro-Belanda. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang Eropa (semua orang kulit putih dianggap pro-Belanda) atau yang mendukung penjajahan lagi. Orang Indo, yang kebanyakan menghendaki laginya Belanda, merasa takut dan banyak yang melarikan diri ke koloni jajahan Inggris - Malaysia dan Singapura. Maka dimulailah gelombang "repatriasi" warga Eropa-Indonesia ke Belanda. Pengakuan kedaulatan Indonesia pada kesudahan tahun 1949 memicu peningkatan banyak repatriat. Tidak mudah untuk banyak orang Eropa-Indonesia untuk hidup di Belanda karena terjadi penolakan oleh sebagai warga Belanda yang merasa tersaingi dalam pencarian lapangan pekerjaan. Akhir-akhirnya banyak dari mereka yang kesudahan lagi beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, atau Kanada.
Selang tahun 1945 dan 1965 diperkirakan terdapat 300.000 orang Belanda, Indo, ataupun orang Indonesia yang menentukan pergi/kembali ke Belanda. Migrasi ini terjadi secara bergelombang. Banyak di selang mereka belum pernah ke Belanda sama sekali.
Paling tidak terjadi migrasi dalam lima tahap:
- Tahap pertama, 1945-1950: setelah penyerahan Jepang, sekitar 100.000 orang tawanan diberi keleluasaan Jepang dan dipulangkan ke Belanda, meskipun sejumlah orang menentukan bertahan di Indonesia dan mengalami masa sulit selama Perang Kemerdekaan.
- Tahap kedua, 1950-1957: Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, sejumlah tentara dan pegawai pemerintahan Belanda dipulangkan, setelah dimohon menentukan. Di selang mereka banyak orang-orang bekas KNIL: 4000 orang Maluku dan juga tentara Belanda asal Afrika. Banyak total tidak dikenal. Proses ini menyulut terjadinya Pemberontakan Republik Maluku Selatan
- Tahap ketiga, 1957-1958: Setelah "Nieuw-Guinea-kwestie", sekitar 20.000 orang dipulangkan dari Papua ke Belanda.
- Tahap keempat, 1962: setelah Belanda diharuskan meninggalkan Papua dan Papua diserahkan kepada UNTEA, sekitar 14.000 personal Belanda dipulangkan. Pada masa UNTEA pula terjadi emigrasi sekitar 500 orang Papua ke Belanda.
- Tahap kelima, 1957-1964: Setelah Indonesia memberlakukan undang-undang kewarganegaraan (UU 62/1958), yang memaksa orang-orang Eropa-Indonesia wajib menentukan kewarganegaraan. Jika mau menetap mereka wajib menempuh proses naturalisasi dan jika mau tetap sebagai orang Belanda (Europeens) mereka wajib meninggalkan Indonesia. Pada masa ini juga banyak terjadi emigrasi dari orang-orang keturunan asing yang tidak mau menjadi warga negara Indonesia.
Kiprah adat kaum Indo sebelum diaspora

Kaum Indo memiliki ciri-ciri adat percampuran dari kebudayaan Barat (Eropa) dan kebudayaan Timur (Indonesia atau Tionghoa). Percampuran adat ini sedikit banyak berkaitan dengan derajat "ketercampuran" rasial masing-masing individu dan latar belakangan etnis keluarga mereka. Hal ini membikin kumpulan ini sukar dirumuskan, bahkan oleh anggotanya sendiri, sehingga mereka sulit menyatukan diri sebagai satu kekuatan politik. Situasi ini menjadi bencana untuk mereka ketika terjadi Perang Pasifik dan masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Kaum Eurasia (Mesties) mendominasi penampilan fisik kumpulan etnik ini. Sensus masyarakat tahun 1930 memandukan bahwa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropa totok ("murni") serta orang kumpulan etnik pautan yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.[7] Kerumitan latar belakangan rasial ini membina suatu rentang fenotipe (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropa mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan trekkers (ekspatriat). Muncul kesudahan beragam istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti koffie met melk ("kopi susu"), kwart over zes (pukul enam belum cukup seperempat), half zeven ("pukul setengah tujuh"), bijna zeven uur ("hampir pukul tujuh"), hingga zo zwart als mijn schoen ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam"[8]. Dikenal pula di masyarakat julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak Indo. Oleh masyarakat pribumi julukan ini diperluas untuk sebutan semua anak-anak golongan kulit putih.
Di kalangan Indo telah umum dikenal, semakin terlampau tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin terlampau tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar berupaya mengidentifikasi diri sebagai orang Eropa. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropa.[9] Aspek adat lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar"[9]. Stratifikasi sosial bernuansa rasis ini sedikit banyak muncul dari asal-usul orang Indo, yang kebanyakan adalah keturunan dari adat pergundikan meluas di kalangan pria Eropa pada 100 tahun ke-17 dan ke-18 akibat belum cukupnya perempuan Eropa. Orang-orang Mestizo dianggap sebagai "keturunan hubungan gelap". Kebanyakan mereka dibesarkan oleh ibu mereka dalam tradisi lokal, sehingga edukasinya dianggap belum cukup, juga dalam kecakapan berbahasa Belandanya. VOC, sebagai penguasa, tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan situasi ini. Namun demikian justru turutnya unsur adat lokal yang menjadi pembeda mereka dan orang Belanda pendatang, bahkan masih dipertahankan hingga kesudahan 100 tahun ke-20.
Kaum Indo dipergunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural supaya tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum Tionghoa-Indonesia, yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga membiarkan terlantar kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan untuk orang Indo: akap "Indo" dianggap sebagai singkatan dari indolent (pemalas)[9]. Orang Eropa totok secara sosial dan legal berposisi lebih terlampau tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur karena orientasi adat yang sama, dalam banyak hal pautannya (seperti makanan dan kecenderungan estetik) kedua kumpulan ini cukup berlainan. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi diaspora orang Eropa-Indonesia ke Belanda seusai Perang Alam Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima keberadaan orang-orang Indo sehingga sebagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, atau Selandia Baru.[10]
Garis politik sebagian besar kalangan Eropa-Indonesia masa penjajahan cenderung pada status quo: mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, hadir sebagian kecil yang menghendaki pemerintahan sendiri. Kumpulan terakhir inilah yang menjadi salah satu inti gerakan kemerdekaan Indonesia. Indische Bond (1899) dan Insulinde dapat dianggap mewakili kumpulan yang pro-pemerintahan sendiri (tidak di bawah Belanda). Sementara itu, Indo-Europeesch Verbond (IEV, 1919) dapat dianggap sebagai organisasi kaum Indo yang berarah ke Belanda.[11] Partai Hindia (Indische Partij, 1911) dapat dianggap sebagai artikulasi politik paling radikal mereka pada awal 100 tahun ke-20, karena organisasi inilah yang pertama kali terang-terangan menyatakan konsep pro-independen (pemerintahan sendiri untuk Indiers). Sayang sekali bahwa organisasi ini belum cukup mendapat banyak dukungan dan berumur pendek karena segera dibungkam pemerintah kolonial.
Hubungan yang intens dengan adat lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia, dan sebaliknya. Van der Veur (1968) membahas banyak adat (customs) kalangan Indo[8]. Ciri khas yang utama adalah hubungan kekeluargaan yang kuat. Orang Indo gemar berburu, juga berlatih pencak silat (terutama dari kalangan yang dekat dengan masyarakat lokal) dan menciptakan permainan layang-layang laga.
Kebanyakan dari mereka adalah penganut agama Kristen, namun mempercayai pula beragam takhyul lokal dan juga mempraktekkan selamatan/kenduri untuk memperingati suatu tahapan kehidupan. Kalangan Indo pauper (mereka yang hidup dengan kalangan pribumi) bahkan mengenal guna-guna.
Bahasa yang dipergunakan oleh kalangan Indo pada masa VOC adalah bahasa pijin Portugis yang bercampur dengan bahasa Melayu Pasar. Hal ini dikenal dari suatu catatan seminari dari paruh kedua 100 tahun ke-18. Turutnya imigran dan pekerja perkebunan dari Belanda pada 100 tahun ke-19 mendorong menguatnya pemakaian bahasa Belanda, namun terjadi banyak "pelanggaran" gramatika oleh mereka, seperti pengalihan fonem, pencampuran dengan kata-kata atau susunan bahasa Melayu, dan pengabaian gender akap. Meningkatnya kesadaran politik hendak etnik ini bahkan mendorong tokoh Indo, Ploegman, untuk melahirkan bahasa Belanda varian Indisch ini sebagai bahasa "yang menyatukan beragam kumpulan masyarakat dalam kehidupan adat sehari-hari".
Dalam alam sastra, beberapa karya tulis berharga dihasilkan oleh penulis-penulis seperti C.F. Winter, van der Tuuk, Ernest Douwes Dekker, Ucee (S.H. Coldenhoff), Louis Couperus, Hans van de Wall, dan E. du Perron. Dari periode setelah Perang Alam Kedua muncul nama-nama seperti J. Boon (Vincent Mahieu/Tjalie Robinson), Rob Nieuwenhuys, Adriaan van Dis, dan Gertrudes Johannes Resink (puisi).
Di bagian seni lukis Jan Toorop adalah nama yang paling menonjol. Pelukis-pelukis Indo adalah pendukung arus lukisan Mooi Indië/Indonesië yang menggambarkan romantisme lingkungan kehidupan dan kehidupan sehari-hari Indonesia. Walter Spies (walaupun beliau adalah totok namun amat menyukai adat Bali) dikenal sebagai pengembang arus lukisan dekoratif Bali yang khas.
Orang Indo dikenal berbakat di bagian seni musik dan seni pertunjukan. Dalam seni musik orientasi ke musik barat cukup kental, bahkan boleh dikemukakan kalangan Indo kelas menengah dan bawah adalah duta musik barat untuk masyarakat non-Eropa di Hindia Belanda/Indonesia. Bentuk musik keroncong, berakar dari musik Portugis, dilestarikan oleh kaum Indo dan memperoleh gaung yang kuat di seluruh lapisan masyarakat di awal 100 tahun ke-20 menempuh pertunjukan sandiwara komedi stambul. Komedi stambul dikenalkan oleh August Mahieu, seorang Indo yang menghimpun beberapa orang Indo pautannya untuk menyelenggarakan teater hibrida: bergaya Eropa tetapi dengan kostum a la Timur Tengah. Pertunjukan ini populer di semua kalangan masyarakat (bawah) Hindia Belanda, dan menimbulkan beragam epigon yang juga kesudahan populer. Kalangan Indo juga kesudahan yang memperkenalkan musik jazz di Hindia Belanda. Jack Lesmana (Jack Lemmers), seorang Indo yang menjadi tokoh utama jazz Indonesia, telah mengenal bentuk musik ini sejak masa kecilnya. Di masa popularitas rock'n roll, orang-orang Indo juga menjadi motornya. Kepintaran anti-Barat Sukarno membikin musik ini berakhir berkembang di Indonesia, tetapi tetap berkembang di Eropa, seiring dengan diaspora kaum Indo. The Tielman Brothers adalah grup musik yang paling menonjol dari kalangan Indo dan sangat populer di Eropa.
Dari segi boga, seni masak Eropa di tangan kaum Indo menjadi kaya rempah-rempah dan memiliki cita rasa yang khas. Orang Indo sangat menyukai masakan lokal, bahkan menikmati rujak[9]. Rijsttafel, suatu bentuk penyajian masakan khas Indisch, dikembangkan dari bentuk penyajian dalam upacara selamatan. Kue-kue khas juga muncul, seperti klappertart, kue lapis legit, dan bika ambon, selain juga kue bolu. Perkembangan seni boga ini berkaitan pula dengan hobi orang Indo untuk berpesta.
Dari sisi busana, muncul pada 100 tahun ke-19 kebaya yang khas dipakai perempuan Eropa; bahkan kesudahan muncul batik Belanda, batik dengan motif-motif pengaruh Eropa[12]. Kebaya Belanda ini mengalami revivalisasi pada masyarakat Indonesia modern.
Orang Indo masa kini
Semenjak Orde Baru, orang Eropa-Indonesia di Indonesia hanya adalah bagian sangat kecil dari masyarakat Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat praktis tidak memungkinkan turutnya orang Eropa ke Indonesia tanpa menempuh naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam kultur kosmopolitan Jakarta, atau kultur lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikemukakan bukan adalah subkultur yang khas di Indonesia.
Suasana yang perkiraan berlainan terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472.600 orang masyarakat Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di selangnya muncul di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458.000 orang yang adalah generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka adalah kumpulan minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan adat tersendiri. Secara statistik mereka masih dibedakan dan dianggap sebagai kumpulan minoritas terbesar, sekaligus sebagai kumpulan minoritas yang paling terintegrasi.[13] Festival tahunan Pasar Malam Besar adalah kegiatan besar dari masyarakat Eropa-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang warga negara AS keturunan Eropa-Indonesia dan pernah menetap di Indonesia, mencatat secara kritis hadirnya "kebangkitan kembali" pada generasi ketiga keturunan kaum Indo di Belanda.[14]
Keturunan Eropa-Indonesia juga tersebar di seluruh alam, patut terus dari Indonesia atau pun dari Belanda. Banyak di selang mereka tinggal di Amerika Serikat, Kanada atau Inggris, beberapa di selangnya menjadi orang yang cukup terkemuka.
Masa muka
Banyak kalangan memperkirakan bahwa Eropa-Indonesia sebagai etnik dengan ciri-ciri khas tersendiri hendak menghilang, bahkan dari kalangan mereka sendiri. Penyebab yang paling terang adalah karena tidak hadir lagi desakan untuk terjaganya warisan gaya hidup mereka. Kalangan muda biasanya cenderung menyerap adat barat, yang memang sejak awal menjadi orientasi mayoritas orang Indo[10]. Di Indonesia, kultur Indo memudar karena kalangan generasi muda telah menjadi bagian utuh dari masyarakat modern Indonesia bahkan dapat dikemukakan sedikit banyak ikut membina adat khas Indonesia. Tokoh kemerdekaan Indonesia, Sutan Sjahrir, pernah menyinggung nasib orang Indo di Indonesia pascakemerdekaan:
"...posisi kaum Indo ..... .... dalam masyarakat kolonial kita ini telah berubah. Seiring berjalannya waktu, kaum Indo secara perlahan-lahan menjadi orang Indonesia, atau dapat pula dikemukakan bahwa orang Indonesia secara bertahap mencapai taraf yang sama dengan orang Indo. Perubahan yang terjadi dalam proses transformasi di dalam masyarakat kita ini pertama-tama menempatkan kaum Indo dalam posisi yang menguntungkan, dan sekarang proses yang sama mengambil keuntungan itu. Bahkan jika mereka mempertahankan status keeropaan mereka berlandaskan hukum, mereka tetap hendak sejajar dengan orang Indonesia, karena semakin lama hendak banyakan orang Indonesia yang terdidik daripada orang Indo. Posisi yang menguntungkan mereka kehilangan landasan sosialnya, dan sebagai hasilnya posisi itu hendak lenyap." (Sutan Sjahrir, 1937)[15]
Tokoh-tokoh
Tokoh-tokoh dari kalangan Indo cukup banyak banyaknya, patut di Indonesia, Belanda, maupun Amerika Serikat.
Indonesia
- Ernest Douwes Dekker, pejuang gerakan kemerdekaan Indonesia
- Henri MacLaine Pont, guru besar ITB pra-kemerdekaan, arsitek
- Thomas Karsten, arsitek
- Joop Ave, mantan menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (1992-1997)
- Juwono Sudarsono, menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009)
Belanda
Negara pautan
Berikut adalah beberapa tokoh asing selain dari Belanda yang memiliki keturunan Eropa-Indonesia.
- Michelle Branch, penyanyi
- Mark-Paul Gosselaar, aktor (Amerika Serikat)
- Eddie Van Halen, pemusik (AS)
- Alex van Halen, pemusik (AS)
- Xaviera Hollander, penulis, mantan wanita penghibur kelas atas, mucikari (AS)
- Marcus Schenkenberg, model (Swedia, AS)
- Petra Verkaik, model (AS)
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Lihat artikel di Wikipedia Bahasa Belanda
- ^ "Si Mata Biru di Aceh Jaya". Arsip Kompas daring. Edisi 31 Maret 2004. Diakses 4 Desember 2008.
- ^ Santoso, A. "Keluarga Aceh Keturunan Portugis di Lamno". Artikel di Radio Nederland daring. Diakses 4 Desember 2008. Salinan.
- ^ a b Vlekke BHM 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. KP Gramedia Jakarta. Bab 9.
- ^ Osborne M 2004. Southeast Asia: An Introductory History. Allen & Unwin Australia. hal 53
- ^ van der Veur, PW 2006. The lion and the gadfly. Dutch colonialism and thes spirit of E.F.E. Douwes Dekker. KITLV Press. Leiden. Penulis buku ini pun adalah seorang Indo yang bermukim di Amerika Serikat.
- ^ a b Centraal Bureau voor de Statistiek 2003. Bevolkingstrends. Statistisch kwartaalblad over de demografie van Nederland. Jaargang 51 – 1e kwartaal 2003. Heerlen/Voorburg. Nederland. hal. 58
- ^ a b van der Veur, PW. 1968. Cultural aspect of The Eurasian Community in Indonesian Colonial Society. Indonesia 6:38-53.
- ^ a b c d Veur, P. van der. 1969. Race and Color in Colonial Society: Biographical Sketches by a Eurasian Woman concerning Pre-World War II Indonesia. Indonesia 8:69-79.
- ^ a b Krancher J 2003. "Indos: The Last Eurasian Community?". EurasianNation.
- ^ Wiseman, R. 2000. "Assimilation Out: Europeans, Indo-Europeans and Indonesians seen through Sugar from the 1880s to the 1950s". Paper presented to the ASAA 2000 Conference, University of Melbourne, July 3-5, 2000.
- ^ Back To Batik. An article in aboutbatik.com
- ^ Indische Nederlander voorbeeld integratie. NICIS Institute, edisi 20-04-2006.
- ^ Boot, Brederode and Krancher, 2006. The Rise of a New Generation: The Dutch-Indonesian Cultural Renaissance in the Netherlands. Laman COERT. Worldwide Family History.
- ^ Panel paper ASAA conference by Dr Roger Wiseman, University of Adelaide
Pranala luar
- (Belanda) Informasi tentang warga Indo-Eropa di Belanda dari www.indischhistorisch.nl
- (Inggris) Schuyf, Judith. The Occupation of the Dutch East Indies - How Civilians Were Affected. Commemoration of the end of WW-III in 4th of May.
- Indo-europeans and The Challenge of Identity from Colonialism to Independence. Abstrak.
- (Jerman) Kortendick, O. 1990. Indische Nederlanders und Tante Lien: eine Strategie zur Konstruktion ethnischer Identität. Tesis master.
|
|
perpustakaan.web.id, jakarta-barat.kuliah-karyawan.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dll.